Masuk Islam Gara-gara Silat

Abdul Latef Ibrahim Pahami Islam dari Jurus Silat

Minggu, 17 November 2013, 21:58 WIB
silat (ilustrasi)
silat (ilustrasi)
REPUBLIKA.CO.ID, Abdul Latef Ibrahim menganut agama Kristen. Namun, ia lebih tertarik pada mencari spiritualitas diluar agama. "Bagi saya, Kristen tidak relevan dengan zaman. Itu sulit bagi saya untuk menemukan sesuatu di dalamnya yang bisa saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari," kata dia seperti dikutip onislam.net, Ahad (17/11).

Ibrahim waktu itu menghindari segala hal yang berbau agama. Ini karena ia percaya semua agama itu sama, atau setidaknya mirip dalam hal kurangnya relevansi dan kegunaan. Ia menyadari banyak penganut agama non-Islam, yang frustasi lantaran minimnya pengetahuan dan bimbingan terhadap sifat-sifat Allah.

"Saya merasa aneh ketika harus berkomunikasi dengan seorang manusia di satu sisi, dan Tuhan di sisi lain," kata dia.

Bagi Ibrahim itu menyulitkannya untuk memahami apa hubungan manusia dengan Tuhan. Apakah serumit itu sehingga manusia tidak bisa berdoa secara langsung kepada Tuhan. Atau mengapa harus ada kalimat tertentu sebelum mengakhiri doa.

"Jujur, saya merasa lapar dengan pendekatan yang lebih mudah. Satu agama yang memberikan saya bimbingan yang benar bukan hanya dogma yang gugur dengan akal pikiran," kata dia.

Selama menjalani kuliah pascasarjana, Ibrahim memiliki teman seorang Yahudi. Ia merupakan atlet bela diri. Kebetulan, mereka teman sekamar. Temannya itu mempelajari silat, seni bela diri Melayu. "Ia selalu menyebut istilah spiritual, yang membuat saya tertarik. Inilah awal saya mendalami silat," kenangnya.

Pertama kali berlatih, ia bertemu seorang guru silat bernama Sulaima. Melalui dia, Ibrahim untuk kali pertama tahu tentang ajaran Islam. Dari pengalaman pertama, Ibrahim begitu terkesan dengan konsep ajaran Islam. Ini yang kemudian menjadi bahan diskusi bersama teman-temannya.

"Selama itu, saya berada dalam lingkungan Islami. Saya menemukan konsep integrasi antara agama dan rutinitas sehari-hari. Hal yang tidak pernah saya temukan dalam agama saya," kata dia.

Seiring perjalanan waktu, ketertarikan Ibrahim terhadap Islam semakin membesar. Perlahan tapi pasti, Ibrahim mulai menyadari bahwa Islam merupakan panduan hidup yang lengkap.
Pada 30 Juli 1999, Ibrahim memutuskan menjadi Muslim. Sebelum keputusan ini, ada dua hal yang menjadi pertimbangannya. Pertama, budaya Barat yang begitu tertanam dalam dirinya, apakah bisa beradaptasi dengan ajaran Islam.
Di Amerika, kebahagiaan didefinisikan oleh apa yang kita miliki dan mengkonsumsi, dengan demikian, seluruh kebudayaan diarahkan pasar. Kedua, menjadi seorang ilmuwan sosial ia berkeinginan menghilangkan penyakit sosial. Pertanyaannya, apakah Islam bisa menyembuhkan perilaku sosial yang tidak sehat.

"Setelah saya pikirkan relevansinya, saya memutuskan Islam begitu relevan dengan kehidupan saya. Saya jadi paham mengapa agama ini berbeda dengan agama lainnya," kata dia.

Setelah keputusan itu, seperti halnya mualaf lainnya, Ibrahim dihadapkan dalam satu situasi dimana ia menghadapi penolakan dari keluarga dan lingkungnya. Keluarga Ibrahim memandang keputusannya dengan lebih kepada khawatir adanya gap budaya yang berdampak pada perbedaan.

"Saya selalu katakan kepada mereka, menjadi Muslim itu bukanlah hal negatif," kata dia.

Ibrahmi mengungkap Allah SWT telah menyiapkan umatnya Alquran dan Hadist, kedua pedoman dalam menjalani kehidupan. Ini termasuk ketika menghadapi penolakan dalam keluarga.

"Anda tahu, hari ini, banyak pertanyaan yang menyudutkan Islam. Saya tahu mengapa begitu banyak orang takut, padahal hidup sangat menakutkan tanpa Allah," kata dia.

"Sekarang, saya tahu mengapa saya di sini, di mana saya ingin pergi, apa yang saya inginkan dalam hidup saya," tambahnya.