Mengenal Jamu Awet Muda Raja-raja Jawa
Lesthia Kertopati, Dody Handoko
Minggu, 21 Juni 2015, 06:14 WIB
VIVA.co.id - Jamu sudah dikenal luas dan diracik sejak zaman pra-sejarah. Terbukti dari adanya penemuan peralatan batu dari zaman Mesolitikum dan Neolitikum berupa lumpang yang biasa digunakan untuk meracik jamu.
Bukti sejarah lain yang menggambarkan kebiasaan meracik, pemeliharaan kesehatan dan minum jamu ditemukan pada relief Candi Borobudur, Prambanan, Penataran, Sukuh dan Tegalwangi, yang dibangun pada masa Kerajaaan Hindu dan Buddha.
“Di Candi Sukuh memang ada relief orang menumbuk jamu,” kata Gunawan, petugas Candi Sukuh, kepada VIVA.co.id, Sabtu 20 Juni 2015.
Pada abad 17, masa Kerajaan Hindu Mataram, putri-putri keraton kerap minum jamu untuk menjaga kesehatan dan kecantikan diri supaya terlihat awet muda dan cantik.
Jamu berasal dari bahasa Jawa Kuno “jampi” atau “usodo” yang berarti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa dan ajian-ajian. Istilah jampi banyak ditemukan pada naskah kuno jaman Jawa Kuno seperti pada naskah Gatotkaca Sraya, yang digubah oleh Mpu Panuluh pada jaman Kerajaan Kediri, di masa pemerintahan Jayabaya pada tahun 1135-1159 M.
Pada abad pertengahan, sekitar 15-16 Masehi, istilah usodo jarang digunakan. Sebaliknya, istilah jampi yang lebih populer dan digunakan di kalangan keraton. Nama jamu merupakan bahasa Jawa Tengah yang digunakan oleh masyarakat umum, diperkenalkan oleh dukun atau tabib-tabib pengobat tradisional.
Relief pada candi Borobudur, yang didirikan pada tahun 772 M, menggambarkan perawatan kesehatan bagian luar tubuh dengan pemijatan dan penggunaan ramuan jamu dan dalam tubuh dengan minum jamu.
Bukti tertulis mengenai ramuan jamu ditulis setelah abad pertengahan, antara lain Serat Centhini, yang ditulis tahun 1814 M dan Serat Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi, tulisan pengetahuan tentang Jamu Jawa, ditulis tahun 1858 memuat sebanyak 1734 ramuan jamu.
Catatan yang memuat istilah jamu ditemukan pada Serat Parimbon djampi ingkang sampoen kangge ing salami-laminipoen tahun 1875 M.
Delapan jenis jamu keraton
Bukti sejarah lainnya adalah prasasti Madhawapura peninggalan Kerajaan Hindu Majapahit, abad 13 M, yang menyebutkan adanya profesi peracik jamu yang disebut Acaraki. Pada zaman Majapahit, jamu menjadi minuman kebesaran raja di upacara-upacara kerajaan.
“Ada delapan jenis jamu yang diminum Raja Majapahit dan putra-putri keraton. Khasiatnya untuk kebugaran dan awet muda,” jelas budayawan Trowulan, Dimas Cokro Pamungkas.
Dia menambahkan bahwa jamu yang diminum raja itu melambangkan delapan arah mata angin sekaligus lambang surya Majapahit, Wilwatikta. Delapan jenis jamu tersebut adalah kunyit asam, beras kencur, cabe puyang, pahitan, kunci suruh, kudu laos, uyup-uyup atau gepyokan dan sinom.
Urutan meminum jamu yang ideal dimulai dari manis-asam, sedikit pedas-hangat, pedas, pahit, tawar, hingga manis kembali, sesuai dengan siklus kehidupan manusia.
Contohnya, beras kencur melambangkan masa remaja, dimana manusia mulai memiliki sikap egois dan baru sedikit mencicipi kehidupan yang sebenarnya. Hal ini dilambangkan dengan rasa sedikit pedas. Fase selanjutnya dilambangkan dengan cabe puyang yang pedas-pahit seperti kehidupan manusia di usia 19-21.
Pahitan melambangkan fase kehidupan selanjutnya yang meskipun pahit, harus tetap ditelan atau dijalani. Kemudian, kehidupan akan menjadi landai sebagai resolusi hidup. Hal ini dilambangkan dengan tepat oleh jamu kunci suruh.
Kunci merupakan sebuah bumbu penyedap makanan, sedangkan suruh memiliki banyak khasiat dan penyembuh berbagai macam penyakit. Jadi dapat dilambangkan bahwa kesuksesan hidup kita saat itu didasarkan pada apa yang kita pelajari sejak kecil.
Lima Tanda Anda Butuh Liburan
© VIVA.co.id